Jama’ah milis Bahstul Masail yang terhormat.

Salam,

Ahad pagi (26/4), saya ikut Caswiyono dan Fahsin (keduanya aktifis IPNU) menemui Pak Said Budairy di rumahnya, jalan Mampang Prapatan II/74. Caswiyono dan Fahsin sowan dalam rangka memperkaya data untuk biografi almarhum Pak Tolchah Mansoer yang sedang dalam tahap akhir penulisan. Sementara saya makmum saja. Saya senang lantara rumah Pak Said tercatat dalam sejarah NU, utamanya “tim 24”, yang mengerucut jadi “Tim 7”, guna menyiapkan NU kembali ke Khitoh. Tentu yang menjadi sejarah bukan saja rumahnya, tapi juga diri Pak Said sendiri. Pak Said termasuk dalam “Tim 7” bersama Abdurahman Wahid, Slamet Effendy Yusuf, KH. A. Mustofa Bisri, tiga orang lainnya saya lupa. Pak SEY selaku aktor utama pasti mengetahui detail-detail pertemuan-pertemuan “kelompok G”, sebutan untuk orang-orang yang sering kumpul di rumah Pak Said, yang dulunya memang bernama “Gang G”.

Sesampai di depan rumah Pak Said, saya terbengong-bengon. Bayangan saya, rumah Pak Said tidak jauh beda dari rumah Pak Hasyim Muzadi di depok, Pak Said di Ciganjur, atau Kiai Sahal di Pejaten (saya tidak tau ini rumah beliau atau cuma “ngontrak”). Punya halaman luas atau parkir luas yang cukup untuk mobil beberapa tamu atau mobilnya sendiri, sebagaimana dimiliki Pak Hasyim dan Pak Said Aqil. Tapi ternyata tidak. Pak Said tidak punya halaman. Garasinya pun sudah penuh oleh satu sedan Mitsubisi berwarna hitam (entah sedan keluaran tahun berapa. Tapi saya lihat jauh dari kesan sedang mewah). Ruang tamunya pun, alamaaaaak, kecil sekali. Hampir tertutup oleh sofa kecil berwarna biru muda yang sudah kusam, dan di sisi kanan sofa -tempat duduk Pak Said- ada yang sudah sobek sepanjang telunjuk jari saya.

Subhanallah, orang ini sederhana sekali! (Pak SEY, lantas di mana “Kelompok G” berdisksusi dan “nglekar”?). Saya kira sulit mencari selevel Pak Said dengan gaya macam Pak Said.

Ahad pagi itu, Pak Said menerima kami dengan berbaju koko putih, sarung yang dikenakan “samarenda kecewa” berwarna merah, dan berkopyah haji, serta suguhan teh nasgitel.

Sesuai dengan harapan, pagi itu Pak Said banyak bercerita tentang pendirian IPNU dan almarhum Pak Tolchah Mansoer. Dalam penggalan ceritanya, Pak Said melukiskan dengan baik kondisi kantor PBNU akhir tahun tujuhpuluhan.

“Kantor PBNU hanya ramai ketika menjelang pemilu dan menentukan siapa yang akan jadi DPR. Selebihnya, kantor PBNU sepi. Ketika malam, kantor PBNU berisi grobag-grobag dorong,” tutur Pak Said.

Ingin sekali saya bertanya, apa bedanya kantor PBNU pada waktu itu dengan sekarang. Tapi saya mengurungkan. Takut terlalu serius dan khawatir menyita tujuan teman-teman IPNU. Dan saya juga ingin perbincangan dua hari yang lalu itu layaknya perbincangan di hari Minggu, bisa santai. Tapi rupanya Pak Said tipe orang serius dan agak pendiam. Beda dengan Pak Said satunya. Maksudku Pak Said Aqil Sirodj.

Di jalan menuju Lakpesdam, saya mengingat-ingat penggalan cerita Pak Said soal kantor PBNU penuh dengan grobag-grobag itu. “Itu ada di tulisannya Pak Said untuk mengenang almarhum Fahmi Saifudin,” kata Caswiyono.

Langsung saja, sesampai di Lakpesdam, saya mengambil buku itu. Lalu mencari tulisan Pak Said. Mudah mendapatkan tulisan Pak Said di buku obituari berjudul “Fahmi D. Saifudin, dokter NU itu….”, juga menemukan grobag-grobag itu.

Ternyata, konteks Pak Said menyebut grobak-grobag dorong itu berkaitan dengan “siasat” almarhum Fahmi Saifudin mencuri perhatian para aktifis NU senior yang pada waktu itu “tumplek-blek” di wilayah politik praktis. Sehingga NU-nya mandeg.

“Salah satu ‘akal’ Fahmi lainnya untuk menarik perhatian para tokoh, dibuatnya potret beberapa obyek. Difotonya gedung PBNU dari beberapa sisi, termasuk bagian halamannya yang porak poranda penuh GEROBAK DORONG diparkir. Dipotret pula gedung Muhammadiyah dan universitasnya, yang telihat rapih dan tampak aktif. Tidak ketinggalan rumah Sakit Cikini milik umat Kristen Protestas dan Rumah Sakit St. Carolus, milik umat Katolik. Ditentangnya foto-foto itu, lalu bikin program berkunjung ke kediaman tokoh-tokoh ‘besar’ NU. Di hadapan masing-masing tokoh itu foto digelar, sambil menyampaikan keprihatinan. Dan biar Mengadu dengan cara seperti itu ternyata lumayan berhasil. Sempat ada tokoh NU yang meneteskan airmata.”

Maaf, saya mengutip lengkap alenia yang ditulis Pak Said, biar jelas betul bagaimana “grobag dorong” itu muncul dalam diskusi kita, dan biar matannya bisa disebut “kama qola”, bukan cuma “qola ma ma’nahu”.

image0059

Teman-teman, bila kita akan “jumpa darat” (saya usul namanya ‘jumpa darat’ lantaran memang lanjutan dari ‘jumpa udara’. Jangan Halakoh melulu. Bosan :), saya usul 3 tema.

1. Perkara yang diceritakan sama Pak Said di atas. Kira temanya adalah menyangkut POLITIK PARTAI DAN POLITIK JAM’IYAH NU.

Kondisi yang kita hadapi (dihadapai NU sekarang ini) bukan perkara baru. Buktinya cerita Pak Said di atas. dan kita telah tahu semua. Diskusi, dengan aneka macam bentuknya, juga telah digelar. Mungkin sudah ratusan kali. Baru-baru ini, “Kelompok Jogja” juga mendiskusikannya di Pondok Pandaaran, Sleman. Yang kurang banyak dari disksusi macam ini adalah, pesertanya tidak beragam. Termasuk yang di Jogja itu. Pak Hasyim konon akan hadir, tapi batal. Pak Maksum -Ketua PWNU dan tuan rumah halaqoh- saya dengar dimarahi sama Pak Bagja. PWNU dinilai menyalagi prosedur.

Kelompok lain yang telah keliling membicarakan tema serupa adalah kelompoknya (maaf, saya memakai kelompok hanya ingin mempermudah saja) KH. A. Mustofa Bisri dan KH. Mahfud Ridwan.

Jika usulan saya diterima, tolong siapa pun bisa dihadirkan. Syarat lainnya adalah, kepala harus dingin, niatan ishlah, saling memahami, dan muhasabah. Hahahaha……kok kaya pengajian ya? hahaha….. Sori, tidak bermaksud menceramahi orang-orang pinter dan “tua-tua” macam jama’ah milis ini.

2. Tema yang membicarakan PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN DI TENGAH NU MENGUASAI DEPAG.

Saya sebenarnya ingin menulis beberapa kalimat sekedar argumentasi kenapa tema itu saya usulkan. Tapi, setelah saya timbang-timbang, lebih baik bukan saya yang memulai. Saya tidak banyak mengerti. Saya hanya punya asumsi-asumsi yang terlalu dangkal.

Silahkan teman-teman yang paham tahu memulai terlabih dahulu. Mungkin Pak Nasar.

3. Tema yang membicarakan RELASI PARA LEMBAGA, ATAU BANOM NU, LSM NU, DENGAN PARA LEMBAGA DONOR LUAR NEGERI DAN DALAM NEGERI.

tema ini sebetulnya bukan tidak muncul seama sekali dalam diskusi ataupun grenengan di mana-mana. Tapi, yang sering saya jumpai, diskusi mengenai itu, segenap EMOSI melulu. Buku As’ad Ali berjudul “Gejolak di Jantung Tradisi” bicara banyak soal itu. Terakhir saya lihat buku itu dibagikan kepada peserta halaqoh di Pandanaran itu. JIL cukup dibicarakan dalam perbincangan itu, sama dengan NGO lainnya, seperti P3M, Lakpesdam, LKiS, WI, Desantara, Fatayat, LKK, dan lain-lain. JIL dan lain-lain bukan perkara pemahan keislaman. Sori, saya tidak sedang simplipikasi terhadap aneka ragam teman-teman dalam wadah yang bermacam-macam pula. Saya hanya ingin semuanya jelas: menerima bagaimana atau kalau menolak juga bagaimana. Biar nyaman semuanya, tidak “subhat”.

Ahad pagi itu, Pak Said juga sempat menanyakan pendapat saya tentang JIL. Agak terkejut juga saya mendapat pertanyaan itu. Dalam hati saya bertanya, “Buat apa Pak Said tanya itu?” Tangan kanan saya nyikut Caswiyono, “Gimana menurutmu?” Telapak kiri saya menepuk paha Fahsin, “Piye?” Sampai akhirnya Pak Said berbicara lagi. Dia cerita iklan Islam warna-warni yang dicekal itu. Kami mendengar saja.

Pukul 9.40 kami pamit. “Bentar,” kata Pak Said. Pak Ssaid masuk ke dalam. Tak lama dia keluar dengan menenteng satu buku saku, judulnya “H.M. Said Budairy, Sosok di Balik Pembaharuan Jam’iyah NU”. Satunya buku yang lebih besar lagi, tapi tipis, bersampul hitam.

“Ini, saya kasih buat Anda. Musykilat dalam NU,” kata Pak Said.

“Terima kasih, Pak.”

Dalam hati saya grundel, “Ya Allah Pak, masih muda kok disodori musykilat.”

Teman-teman, maaf kepanjangan. Semoga berkenan.

Terima kasih,

Hamzah.