Jakarta, NU Online

KH Shihab Ahmad Syakir dari Lasem Rembang, Jawa Tengah, mengatakan kitab al-Hikam itu kitab orang tua. “Istilae wong niku, al-Hikam niku kitabe wong tuo,” ujar Gus Shihab, panggilan cucu KH Ma’shum Lasem, di Jakarta belum lama ini.

Sebutan al-Hikam sebagai kitab orang tua dimaksudkan untuk mengatakan, kitab tersebut diperuntukkan pada orang-orang yang sudah tinggi ilmunya dan terjaga tingkah lakunya.

Di banyak tempat di pesantren atau komunitas santri, al-Hikam memang hanya diajarkan untuk santri tingkat atas. Jika santri nahwunya sudah mrapal, kitab fiqih yang besar sudah dilampoi serta kitab akhlak atau tasawufnya sudah banyak yang dikaji, baru seorang santri boleh ikut ngaji al-Hikam.

Di pesantren Rinungagung, Kediri, Jawa Timur, misalnya, Mbah Khozin membuka pengajian al-Hikam untuk para alumninya, yang sudah maqom kiai, nyai, dan guru-guru.

Di pesantren memang dikenal semacam hirarkhi antara satu kitab dengan kitab lainnya. Bahkan, ada istilah kitab yang ‘diakui’ dan kitab yang ‘tidak diakui’. Dalam tradisi dirosah islamiyah yang ‘resmi’, hirarkhi kitab hanya dikenal pada kitab-kitab hadits.

Tentang istilah kitab orang tua tadi, KH Lukmanul Hakim berkomentar, “Istilah boleh-boleh saja. Mau disebut tua atau muda, sakti atau tidak sakti, boleh-boleh saja.”

“Tapi semua orang tua selalu menyesal kenapa tidak sejak muda dulu mengenal kitab Al-Hikam,” ujar Lukman yang mengaku kenal al-Hikam sejak duduk di bangku madrasah tsanawiyah.

Dikatakan banyak orang, Lukmanul Hakim termasuk kiai yang menghayati al-Hikam dengan sungguh-sungguh. Bahkan dia mengajarkan kitab tersebut di banyak kota. “Saya membuka al-Hikam Jabodetabek, Bandung, Surabaya dan Malang,” katanya.

Di Jakarta ia mengajarkan al-Hikam tiap Rabu Sore, di masjid Baitul Ihsan, masjid mewah di kompleks Bank Indonesia, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Lukman sudah mengaji di sana sudah berjalan sekitar empat tahun. Jama’ahnya, dari ragam kalangan, santri hingga pejabat. Dan mereka tidak hanya datang dari sekitar Jakarta, tapi juga Sukabumi, Jawa Barat.

Siapakah yang menulis al-Hikam?

Tak lain Syekh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atho’illah As-Sakandari, ada yang membaca al-Iskandari. Ibnu Atho’illah lahir di Iskandariah-Mesir, tahun 648 H atau 1250 M. Ia wafat di Kairo, 1309 M.

Ibnu Atho’illah yang dalam bidang fiqih bermadzhab Maliki adalah guru ketiga dalam thoriqoh asy-Syadzaliah, setelah Abul Hasan asy-Syadzili dan Abul Abbas Ahmad Ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi.

seperti ulama pada zamannya yang ensiklopedis, Ibnu Atha’illah juga menulis karya yang meliputi banyak kajian. Mulai dari tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, ushul fiqh hingga nahwu. Selain al-Hikam, ini berapa karyanya, at-Tanwir fi Isqoth at-Tadbir, Unwanut Taufiq fi’dabit Thoriq, Miftahul Falah dan Al-Qaulul Mujarrad fil Ismil Mufrad.

Tapi, yang ngetop memang al-Hikam yang hingga kini dikaji di banyak pusat-pusat kajian Islam di seluruh dunia. Banyak ulama juga menulis syarah atas al-Hikam, di antaranya Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ibad ar-Rasyid, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad Ibnu Ajiba.

Mengenai isi al-Hikam, Lukmanul Hakim mengatakan, “Kitab ini adalah potret perjalan spiritual para Sufi ketika menempuh (suluk) menuju Allah. Semuanya mengalami seperti yang dipotret oleh Al-Hikam. Bukan sekadar potret dramatisnya, tetapi juga panduan-panduan, simbol, peringatan, nasehat dan sekaligus aturan-aturan ruhani yang luar biasa.”

Begitu istimewanya kitab ini di mata kiai yang mengikuti thoriqoh Sadziliyah, qodiriyah, naqsyabandiyah, sampai-sampai menyarankan bagi pembacanya harus suci, atau punya wudlu.

“Dan jika Anda mau baca, hadiah fatihah dulu ke rasulullah dan Ibnu Athaillah,” katanya.

Boleh baca sendiri, kata Lukman, tapi dianjurkan tetap dimusyawarhkan kepada ahlinya. “Kalau tidak mengerti jangan ditafsiri menurut selera Anda, nanti Anda malah jauh dari esensinya, dan tersandung-sandung,” sambungnya.

Masih ada yang lebih berat lagi dari statemen kiai yang dibaiat Mbah Abdul Jalil dari Tulungagung, Jawa Timur ini, “Usahakan membaca, tapi hati Anda tetap berdzikir. Bacalah menurut hati Anda sendiri-sendiri, bukan menurut pikiran Anda.” (Hamzah Sahal)